Bangkrutnya Bisnis Kuliner yang Dimiliki, Berusaha Bangkit Kembali, serta Mendampingi Anak Meningkatkan Prestasinya


Bangkrutnya bisnis kuliner kami


Kesedihan dan kekecewaan
Sumber: Nathan Cowley, pexels.com

Semakin lama, peningkatan harga semakin menggila, semua dana yang kami miliki tersedot ke dalam bisnis ini, bahkan dana pendidikan anak-anak juga tersedot ke dalamnya!  Saya juga semakin tenggelam dalam bisnis yang cenderung terjun bebas!  Kegiatan belajar anak-anak makin tidak terawasi!  Oh, tidak, semua harus dihentikan!  Setelah kami perhitungkan baik-baik, maka kami putuskan untuk menghentikan bisnis ini, apapun konsekwensinya.  Kami bangkrut, dengan tanggungan hutang bank, Astaghfirullahal Adzim.
Tepat setelah libur lebaran tahun 2016, kami putuskan untuk tidak membuka kembali rumah makan yang telah kami rintis! Tetapi, ternyata tetangga yang juga pelanggan ‘Dunsanak’, jika bertemu, akan bertanya kapan kami akan buka rumah makan ‘Dunsanak’ kembali.  Rasanya sedih, menyilet-nyilet hati, jangankan menjawab pertanyaan mereka, kami pun sedih atas ketidak kemampuan mengoperasikan rumah makan kembali!

Membangun mental dan spiritual kembali, serta keyakinan pada kasih sayang Allah!

Sejak saat itu kami putuskan untuk tidak keluar rumah, bingung, sedih, kecewa, sedikit putus asa.  Bagaimana membayar hutang bank yang cukup banyak itu?  Sedangkan uang tersisa untuk beberapa hari?  Hmm… mungkin jika kami tak memiliki keimanan, bunuh diri adalah salah satu pilihan.    Alhamdulillah Allah masih menuntun dan menjaga kami, untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama! Hampir setiap hari, siang dan malam kami hidupkan siaran radio Islam yang menyiarkan lantunan ayat Al Qur’an, ceramah agama, dan apapun yang bermanfaat bagi kekuatan mental dan spiritual kami.
Memohon petunjuk dan kedamaian kepada Allah
Sumber: pixabay.com

Kadangkala kami terbangun dan termangu di tengah malam, khawatir dengan masa depan anak-anak karena tidak ada lagi uang yang tersedia, bingung dengan hari esok.   Apa yang kami makan, bagaimana dengan biaya pendidikan anak-anak, masa’ mereka harus putus sekolah, apa yang harus kami lakukan, dan rentetan kekacauan pikiran lain yang membayang. 
Alhamdulillah saat itu, kami mendengarkan ceramah agama yang menentramkan hati dari radio Islam yang melakukan siaran tiada henti. Siaran radio tersebutlah yang menemani di masa-masa terburuk kami.  Lewat siaran radio tersebut, seolah Allah membisikkan pada kami, jangan khawatir dengan masa depan, ada Allah!  Jangan khawatir dengan rezeki, mintalah kepada Allah!  Terus bangkit, terus beribadah, dekat, makin dekatlah kepada Allah!
Bergegas kami berdua shalat Tahajud, memohon petunjuk kepada Allah, serta shalat Hajat, meminta rezeki kepada Allah, karena hanya Allah lah, tempat meminta dan memohon petunjuk!  Di kala saat Dhuha, kami pun menunaikan shalat Dhuha, diusahakan sebanyak 12 rakaat setiap hari.  Itulah shalat sunnah yang kami tunaikan selain shalat wajib, dan shalat sunnah yang menyertainya. Rangkaian do’a kami lontarkan, rentetan harapan kami rajut, seiring ibadah yang kami tunaikan.

Menunaikan shalat Tahajud di dini hari
Sumber: pixabay.com



Seminggu berdiam di rumah, suatu pagi pukul 11, Hp saya bordering.  Aduh, siapa ya yang menelpon?  terbersit tanya dalam hati.
Segera  saya jawab telepon tersebut,”Halo, ada yang bisa dibantu?”
“Eva, ini papanya… (sahabat saya yang berdiam di Sydney).  Om ingin mampir ke rumah makan Eva.  Om lagi di Pondok Kelapa, nih.”
Ternyata itu adalah telepon dari papa seorang sahabat SMA yang tinggal di Sydney, Australia dan belaiu saat itu tinggal di Bogor!
Aduh, bingung jawabnya, tidak tega mengecewakan orang tua, apalagi beliau dari Bogor… Tetapi, kan, teleponnya harus segera dijawab?
“Aduh om, maaf, rumah makan Eva lagi tutup, maaf ya, Om?”  Tidak enak hati saya menjawabnya, bukankah rumah makannya memang sudah ‘tutup’.
“Ya, sudah, nggak apa-apa, Om suka sekali dengan gulai tunjangnya (buatan) Eva, lho!” balas beliau kembali.
“Terrimakasih Om, maaf ya, om,” jawab saya kembali.
“Oke, terimakasih ya Eva,” jawab beliau ramah.
“Sama-sama, Om,” jawab saya dengan sedih.
Tidak enak hati telah tidak jujur dengan papanya, saya pun mengirim pesan ke nomor What’s App sahabat SMA tersebut yang menyatakan bahwa papanya telah menelepon.  Dalam pesan tersebut, saya juga menjelaskan bahwa rumah makan saya telah tutup, karena bangkrut, hal yang tidak bisa saya sampaikan kepada papanya.
Buntut dari peristiwa tersebut, Alhamdulillah sahabat saya memesan rending, dendeng garing balado, dan gulai tunjang, yang dipesan dalam kg untuk papanya, Alhamdulillah.  Allah memberikan hikmah peristiwa papa sahabat tersebut kepada kami, Alhamdulillah, Allah menunjukkan kasih sayang-Nya kepada kami.
Saat ini bertahan hidup merupakan pilihan kami. dengan mencoba membuat snackyang akan dijual anak-anak kami ke teman-teman mereka di sekolahnya.  Snack berupa roti goreng isi keju, tahu isi bakso dan berbagai macam snack sea food.  Selain dibawa oleh anak-anak, saya pun menitipkan snack dan keripik singkong ke kantin di kantor saya.  Memang tidak besar, sih, yang didapat, tetapi Alhamdulillah cukup buat uang jajan anak-anak yang saat ini bersekolah di SMA dan SMP. 
Anak-anak cukup bersemangat menjual snack buatan kami.  Berbagai trik mereka lakukan, seperti Rahmi menyuruh teman di kelas lain untuk menjualkan snack-nya, kalau Aulia dan Zikri menjualkan langsung snack tersebut ke teman-teman mereka.  Mereka jadi mengetahui ‘selera pasar’, snack mana yang lebih disukai teman-teman mereka.
Bergulirnya waktu, saya pun dipercaya kembali untuk mengajar mata kuliah Kewirausahaan di Politeknik. Ya, saya harus mengajar, karena terdaftar sebagai salah satu dosen penerima sertifikasi dosen (serdos) mulai awal tahun 2016! 
Disini Allah menunjukkan kasih sayangnya, bahwa rezeki bisa berasal dari mana saja!  Dengan terdaftarnya sebagai seorang dosen penerima serdos, maka saya berhak atas sejumlah honor yang akan diterima.  Persyaratan penerima honor serdos, dosen telah menyelesaikan dan melaporkan kegiatan yang terkait dengan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Selain itu, kami pun mengurus beasiswa KJP (Kartu Jakarta Pintar), sebenarnya Zikri telah menginformasikan untuk pengurusan KJP pada kami, saat kami masih membuka rumah makan.  Namun, saat itu kami tidak mengurusnya, karena kami masih sanggup membiayai sendiri pendidikan anak-anak kami.  Tetapi, kenyataan berubah 180 derajat, mau tidak mau kami pun menmgurus beasiswa tersebut. 
Alasan lain kami mau mengurus KJP pada tahun 2017, karena adanya pergantian sistem pemberian beasiswa yang tadinya kurang manusiawi, sekarang menjadi lebih manusiawi.  Kurang manusiawi, karena penerima KJP cenderung dicurigai dan harus antri berpanas-panas.  Namun, sekarang penerima KJP hanya perlu bertransaksi lewat ATM (Anjungan Tunai Mandiri), terlebih untuk KJP plus memberikan fasilitas bagi penerima beasiswa lebih banyak lagi, Alhamdulillah.  Terimakasih pak gubernur!

Fokus pada pendidikan dan prestasi anak

Hikmah dari kebangkrutan bisnis kami, masa-masa ini merupakan masa saya dan suami lebih memperhatikan prestasi anak-anak. Hal yang harus diperhatikan, terutama Aulia dan Zikri yang sudah lebih bebas bermain game online. 
Saat ini, saya lebih mendidik mereka untuk lebih rajin belajar, dan mereka hanya diperkenankan main game online di komputer di rumah saja dan pada jam-jam tertentu saja.  Komputer pun diletakkan di tempat yang strategis di rumah.  Hal ini agar monitornya bisa dilihat oleh semua orang yang lewat di rumah, agar Aulia dan Zikri hanya melihat tayangan yang diizinkan untuk melihatnya.
Perlahan Aulia dan Zikri mulai memperlihatkan tanggung jawab untuk belajar dan mencapai cita-cita mereka.  Aulia bercita-cita menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) AD, cita-cita yang tak tergantikan sejak ia berusia 4 tahun!  Sedangkan Zikri bercita-cita menjadi ahli komputer, ia memang senang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan kuat di mata pelajaran Matematika.  Kalau Rahmi, sejak SMP sangat tergila-gila dengan KPop, grup band Korea yang sedang ngetop saat itu, memilih ingin kuliah di jurusan Bahasa Korea, dan harus di Ui (Universitas Indonesia)!
Saya mengajarkan mereka membuat peta impian, yang berisi cita-cita dan mimpi mereka di sebuah karton yang ditempelkan di dinding.  Waktu bergulir, baik Rahmi, Aulia, maupun Zikri, memilih Paskibra (Pasukan Pengkibar Bendera) sebagai kegiatan ekstrakuler ketika mereka SMA.  Rahmi menjadi mentor Paskibra, Aulia pernah berhasil lulus test Paskibra tingkat kecamatan, sedangkan Zikri meneruskan keinginan kakak-kakaknya untuk menjadi Paskibraka (Pasukan Pengkibar Bendera Pusaka). 
Ekstrakuler ini bagi kami, baik untuk kedisiplinan mereka.  Kami tak pernah menyuruh mereka, tetapi membiarkan mereka memilih sesuai dengan keinginan mereka masing-masing.  Kami hanya mendo’akan keberhasilan dan kesuksesan mereka di bawah lindungan dan keberkahan Allah,  Aamiin Yaa Rab.





Pindah Rumah dan Pindah Sekolah yang Kedua Kali, serta Permasalahan yang Menyertainya


Pindah rumah kembali kedua kalinya


Pindah rumah kembali
Sumber: F. Muhammad, pixabay.com

Setelah wafatnya ayah dari suami pada tahun 2006, dan semakin menurunnya kesehatan ibu mertua, maka pada tahun 2012, keluarga suami memutuskan ibu akan dirawat oleh kakak ipar, dan rumah akan dijual.  Oleh sebab itu, kami harus segera pindah rumah kembali.  Pilihan kami, adalah kembali tinggal di daerah Jakarta Timur, di dekat rumah orang tua saya, karena wilayah tersebut memiliki akses transportasi yang lengkap.  Dekat dengan halte Trans Jakarta, stasiun kereta api, ada alternatif angkutan kota, serta dekat pula dengan pasar!
Kembali kami harus mengurus perpindahan sekolah, dari Jakarta Selatan ke Jakarta Timur!  Jauh hari sebelum pindah, kami telah memberitahukan rencana kepindahan ini, berikut alasan mengapa harus pindah.  Banyak pertanyaan yang mereka lontarkan tentang rencana kepindahan ini, khususnya dari Aulia dan Zikri, yang kami jawab dengan jawaban yang sederhana dan jelas sesuai pemahaman mereka.
Urut-urutan pengurusan surat pindah sekolah dari surat pindah SD di Tebet, ke suku dinas Jakarta Selatan, dinas pendidikan Jakarta, baru kemudian ke SD yang dituju.  Kali ini, hanya Aulia dan Zikri yang pindah sekolah, karena Rahmi sudah bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Berstandar Internasional di Jakarta Timur, setahun sebelumnya.  Karena pada saat Rahmi akan masuk SMP, sudah ada rencana tentang penjualan rumah ibu mertua, sehingga langsung saja kami daftarkan Rahmi di sekolah ini.
Kami membeli rumah berjarak beberapa meter dari rumah ibu saya.  Hal ini agar memudahkan kami untuk menitipkan anak-anak sepulang sekolah ke ibu saya. 

Masa adaptasi dengan teman-teman di sekolah baru

Ketika pindah ke SD yang baru inilah, terjadi beberapa peristiwa yang menandakan bahwa Zikri merasa tak nyaman bersekolah di SD-nya dan ia kurang mampu beradaptasi di lingkungannya.  Dalam dua minggu pertama bersekolah, ia beberapa kali bolos sekolah, padahal dari rumah sudah rapi dan berangkat sekolah, ketika saya pergi bekerja!  Aduh, saya jadi waswas, kemana Zikri, kalau tidak bersekolah? 
Saya tahu hal tersebut, karena dipanggil oleh guru wali kelasnya.  Ketika saya menemui gurunya tersebut, maka Zikri pun ikut dipanggil menemui kami.  Ternyata Zikri tidak betah di kelasnya, karena teman-temannya berbicara kasar dan kotor, serta suka merendahkan dirinya, ia di-bully!   Setelah tahu permasalahannya, maka gurunya pun menyetujui untuk meng-clearkan masalah dengan teman-teman Zikri tersebut.  Memang, berbeda dengan teman-temannya di sekolah sebelumnya yang lebih sopan dan tak pernah berkata kasar maupun kotor, maka Zikri dan Aulia kaget dengan kenyataan tersebut!

Membekali anak-anak dengan kemampuan bela diri dan menghadapi bully

Mereka berdua pun sepakat untuk bolos sekolah dan membawa baju ganti sebelumnya dari rumah (cerdas bukan?).  Kesepakatan ini, bahkan baru saya ketahui setelah 8 tahun berlalu!   Saya hanya tahu Zikri yang bolos sekolah!  Beberapa kali Zikri dijahili oleh teman-temannya, dan saya pun rajin menemui wali kelasnya untuk meluruskan permasalahan.  Akhirnya ada guru yang memperingatkan saya, agar jangan sering-sering mengadu ke wali kelas!  
Saya hanya diam mendengar perkataan guru wanita tersebut, tetapi saya berjanji, akan menyuruh Zikri belajar bela diri, agar bisa membela diri sendiri dari gangguan teman-temannya!
Setelah saat itu, ketika Zikri mengadu tentang teman-teman yang membully-nya, saya pun bilang kepadanya,”Balas saja perbuatan temanmu.  Kamu harus mampu membela diri, Nak!  Kamu kan laki-laki!”  Memang sepertinya pendidikan yang kurang baik, tetapi memang anak-anak juga harus mampu membela diri mereka sendiri untuk menunjukkan wibawa dan harga diri mereka sendiri, bukan?
Aulia dan Zikri meminta kakak ayahnya untuk mengajarkan ilmu bela diri kepada mereka.  Akhirnya, teman-teman mereka pun mulai segan kepada mereka, setelah mereka mampu membela diri terhadap perbuatan teman-temannya!

Mewabahnya warung internet (warnet) dan game online!

Memasuki tahun 2012, warung internet (warnet) mewabah di lingkungan kami, Aulia dan Zikri pun ikut tergila-gila dengan game online di warnet.   Ada sekitar 5 warnet di sekeliling rumah kami!  Bahkan mereka rela tak jajan, demi main game online! 
Wali kelas V Aulia, ibu Agus, bahkan sampai melakukan razia ke warnet di dekat rumah kami, beliau pun membawa Aulia yang sedang bermain game online dan bolos sekolah ke rumah ibu saya!  Aulia dan Zikri semakin larut dengan game online mereka.  Beberapa kali saya mendapati mereka di warung internet yang berbeda!
Satu keuntungan mereka, di rumah mereka sudah mendapatkan uang jajan dari kami, di rumah neneknya, mereka pun minta uang jajan ke nenek dan tantenya, dan semuanya dihabiskan untuk game online!  Aduh pusing kepala kami dengan perilaku mereka, bolos sekolah, nongkrong di taman, dan bermain game online.
Akhirnya saya, nenek, dan tantenya bersepakat, bahwa Aulia dan Zikri hanya diberikan uang jajan tambahan oleh nenek dan tantenya, jika membantu menyapu atau mengepel rumah neneknya.  Toh, mereka sudah saya berikan uang jajan, bukan?  Jadi, mereka harus memberikan effort atau usaha untuk mendapatkan uang tambahan, bukan?
Bagi Aulia dan Zikri, tak masalah menyapu atau pun mengepel, asalkan mendapatkan uang tambahan untuk bermain game online!





Mensupport anak kedua yang masuk Taman Kanak-Kanak (TK), Mendampingi dan Memberinya Kepercayaan Diri


Pertama Bersekolah di TK

Riang dan bersemangat sekolah di TK
Sumber: pixabay.com

Tibalah saatnya anak kedua saya mengikuti pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK), kami pun mendaftarkannya di TK kelas nol kecit, tempat bersekolah kakaknya sebelumnya.  Merasa riang, ketika pertama bersekolah, saya mengantarnya ke sekolah sambil menggandeng Zikri yang masih berusia hampir 2 tahun di sisi yang lain.  Di jalan, kami bertemu anak-anak yang sedang bermain bola, sambil menanti bel masuk. 
Sayangnya, salah satu anak SD mengeluarkan kata umpatan, yang sangat jelas kami dengar.  Ternyata, kata umpatan tersebut diingat dan terus diulang oleh Zikri, sampai dengan hampir sebulan lamanya, walau tak ada seorang pun di keluarga yang mengajarkannya!  Wow, ternyata Zikri memiliki kecerdasan bahasa yang baik!  Namun, kata yang cepat diingat, adalah kata yang memiliki konotasi negatif, maka selama sebulan tersebut, sibuklah saya mengalihkan perhatian Zikri, ketika mengucapkan kata tersebut, tanpa bermaksud memarahinya!
Karena menurut sumber yang saya baca, ketika kita memarahi balita untuk sebuah perbuatan atau pun perkataan negatif, maka justru ia akan semakin mengulang kata atau perbuatan tersebut!  Oleh sebab itu, kita harus mengalihkan perhatiannya dengan sesuatu yang menarik perhatiannya, setiap ia melakukan perkataan atau perbuatan tersebut!
Sesampainya di TK, Aulia sibuk bermain bermacam-macam permainan yang ada di halaman TK nya, Zikri juga bermain dan berlari, mengikuti apa yang Aulia lakukan.  Kalau sudah begini, saya ingin tertawa geli rasanya melihat polah lucu kedua bersaudara tersebut!
Aulia adalah anak yang tidak bisa diam, ia terus bergerak, berlari atau pun berjalan.  Ia memiliki rasa ingin tahu yang besar dengan apa yang dikerjakan oleh teman-temannya.  Seringkali temannya merasa terganggu dengan tindakan Aulia, walaupun ia tidak mengganggu mereka.  Kadangkala teman Aulia tersebut memukulnya, ketika ia melihat ke arah pekerjaan temannya.  Dengan reflex, Aulia pun membalas pukulan temannya tersebut. 
Nah, pada saat inilah wali kelas (walas) nya melihat tindakan Aulia yang memukul temannya, sehingga walasnya menganggap Aulia-lah yang mengganggu!

Kejadian yang tak terlupakan di TK dan pendampingan bunda serta tante


Kejadian yang terlupakan di TK
Sumber: pixabay.com

Satu kejadian yang tak terlupakan, adalah saat suatu pagi sebelum masuk sekolah, anak-anak sedang sibuk bermain, tante Aulia yang mengantarnya mendengar seorang ibu sedang marah-marah.  Terkejut dan penasaran, tantenya pergi ke arah suara.  Ternyata, Aulia sedang berdiri dengan tegang di tembok, sambil memandang takut kepada seorang ibu yang sedang memarahinya!  Ibu tersebut menunjuk-menunjuk kepada anak saya yang terpaku ketakutan di tembok kelasnya! 
Tante Aulia dengan sigap menghampiri Aulia dan menariknya menjauh dari ibu tersebut, dengan berseru,”Eh, apa-apaan ini, kok marah-marah ke anak orang?”
Ibu tersebut menjawab pertanyaan tante Aulia, sambil bergegas pergi,”Habis, dia nakal!”
Adik saya sangat marah melihat kejadian tersebut, ibu anak-anak lainnya ada yang menimpali,”Dia lagi stress masalah rumah tangga!”
Dengan kesal adik saya menungkas,”Kalau ada masalah rumah tangga, jangan dilampiaskan ke anak orang lain, dong!”
Ketika saya pulang bekerja, adik saya pun menceritakan peristiwa yang menimpa Aulia kepada saya.  Namun, Aulia kecil tidak menceritakan sedikitpun tentang peristiwa itu kepada saya.  Ternyata anak ibu tersebut adalah anak yang suka saya perhatikan ketika ke TK, ia memiliki badan yang lebih tinggi dan besar daripada anak seusianya.  Dia suka menabrakkan diri ke temannya tanpa merasa bersalah, aduh terbayang, kan, kalau ditabrak anak yang lebih besar dari kita?
Esok harinya, pagi-pagi sekali saya menemui kepalasekolah di ruangannya, seorang wanita muda yang ramah, Dwi namanya,”Assalamu’alaykum Bu Dwi.”
“Wa’alaykumsalam, Bu,” jawabnya dengan ramah.
Segera saya perkenalkan diri,”Saya mamanya Aulia, Bu.”
“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya ibu Dwi kembali.
Segera disampaikan maksud kedatangan kepadanya,”Bu, kemarin ada ibu yang memarahi Aulia.  Kasihan sekali, dia sampai ketakutan!  Mengapa bisa begitu?  Bukankah kalau ada masalah, pihak sekolah yang harus mengatasinya?” rentetan kalimat pun tak terhentikan terlontar dari mulut saya.  
“Saya titipkan anak saya di TK ini untuk dididik, bukan untuk dimarahi oleh orang lain seenaknya,” rentetan kalimat selanjutnya pun terlontar kembali dari mulut saya, yang semalaman merasa kesal atas perlakuan ibu tersebut kepada Aulia!
Saya memberi penekanan pada kata ‘mendidik’, kepada ibu Dwi.
Ibu Dwi pun menjawab,”Maaf Bu, ternyata ibu tersebut sedang stress dengan permasalahan rumah tangganya.  Tetapi, kami akan segera selesaikan permasalahan ini, maaf atas ketidaknyamanan putra ibu.”
“Oke, Bu, tolong jaga kepercayaan saya kepada TK ini, terimakasih.”
Saya pun meninggalkan TK dan segera menuju ke kantor.
Hari Sabtu minggu tersebut, ketika menjemput Aulia di TK nya, sempat bertemu pandang dengan ibu tersebut, saya hanya memperhatikannya dan berbicara dalam hati,”Kasihan juga ya dengan ibu tersebut, tetapi kesal juga, karena perlakuannya kepada Aulia.”
Saya bukanlah tipe ibu yang suka ribut dengan orang lain, tetapi jangan coba-coba ganggu anak saya!  Akan saya lindungi mereka, seperti ibu harimau melindungi anak-anaknya! Auuuummmm!

Cerita tentang peristiwa tersebut 14 tahun kemudian!

Ternyata 14 tahun kemudian, ketika saya menceritakan peristiwa tersebut kembali sebagai kenangan.  Barulah Aulia bercerita hal sebenarnya, anak tersebut memang memukul Aulia, namun karena ia bertubuh lebih kecil, maka ia pun menggigitnya, sehingga ibu tersebut marah.  Namun, ia juga harus tahu bukan, bahwa sang anak yang memulai peristiwa tersebut, bukan?  Saya hanya menggeleng-geleng kepala mendengar cerita Aulia tersebut.
Satu pertanyaan saya sampaikan,”Mengapa tidak melaporkan peristiwa ibu yang marah-marah tersebut kepada Bunda?”
Jawabnya,”Takut dimarahi.”
Tidak terbayangkan, kalau tidak ada adik saya yang menyaksikan peristiwa tersebut, mungkin Aulia akan terus-menerus diperlakukan seperti itu?  Hal ini akan berakibat buruk terhadap kejiwaannya di kemudian hari, berakibat terhadap ketidak percayaan terhadap diri sendiri, minder, takut.  Kasihan sekali anak yang menderita seperti itu.  Sementara kita sebagai orang tua sudah menitipkan anak-anak untuk dididik, diberikan kepercayaan diri, berani, bertanggung jawab, dan lain-lain.

Kenali keistimewaan, selain kekurangan anak!

Aulia adalah anak yang sulit fokus, lebih senang berlari, berjalan kian kemari, dia lebih senang bergerak, karena dia memang anak kinestetis.  Khusus untuk Aulia, saya sempat mendatangkan beberapa guru les untuk mendampinginya belajar.  Dia hanya bisa konsentrasi belajar 5 menit, kemudian lari lagi, belajar lagi 5 menit, kemudian berjalan lagi kian kemari.  Seorang guru les, ibu Yuli sampai khusus membawakannya hadiah-hadiah, seperti permen, mainan, agar ia mau duduk tenang belajar.
Namun, walaupun begitu Aulia anak yang cerdas dan istimewa.  Ia suka mengamati kejadian di alam, senang bertanya tentang kejadian-kejadian di alam, dan akan terus bertanya sampai tuntas terjawab!  Dia hanya perlu sekali pergi ke suatu tempat, dan akan langsung hafal arah menuju tempat tersebut, kalau saya, sih, perlu berkali-kali pergi, agar hafal arah!
Satu hari Aulia bersama ayah dan kakak serta adiknya pergi ke rumah nenek di daerah Tebet dengan Taxi.  Sambil terus berceloteh bersama ke-2 saudaranya, ia terus memperhatikan daerah di sebelah kanan dan kiri jalan, kemudian ia pun dengan serius berbisik kepada ayahnya.
Apa yang dibisikkannya, penasaran, kan?
“Ayah, kita diculik ya sama Taksi?” bisiknya dengan suara perlahan.
“Kok, diculik?” tanya ayahnya kembali.
“Iya, jalannya beda dengan jalan yang biasa kita lewati, yah,” dengan yakin Aulia menguraikan alasannya.
Dengan tersenyum dan geleng-geleng kepala, ayahnya pun menjawab,”Tidak, Nak, kita tidak diculik.  Kita cuma lewat jalan yang berbeda menuju ke rumah nenek!” tukas ayahnya.
‘O, begitu ya, yah?” Aulia menegaskan pertanyaannya diiringi mimik percaya diri nan lucunya.
Berarti dengan begitu, pada usia 5 tahun, Aulia telah mengingat persis jalan yang dilewati menuju rumah neneknya di Tebet dari arah Perumnas Klender, bukan?  Alhamdulillah hal ini merupakan salah satu bukti kecerdasannya!




Kehamilan Anak ke-3, Membagi Waktu Buat Kakak-Kakaknya, dan Peran Bunda Sebagai Sekolah Pertama Anak



Pada saat hamil anak ke-3, maka saya juga harus memperhatikan ke-2 kakaknya juga dengan baik agar mereka tidak merasa tersisihkan dengan kehadiran calon adik.  Untuk itu, seperti pada kehamilan anak ke-2, saya juga mengenalkan ke-2 kakaknya, Rahmi dan Aulia, kepada calon adiknya yang masih di dalam kandungan.  Kadangkala saya mengajak mereka bicara kepada calon adiknya, mereka sangat gembira dan antusias.  Terlebih Aulia yang lebih ekspresif dari pada Rahmi.
Kakak-kakak yang harus beradaptasi dengan adiknya
Sumber: Bictoria Borodinova, pexels.com


Aktivitas bersama Bunda, Kakak, dan calon adik

Rahmi dan Aulia selalu antusias melakukan kegiatan bersama dalam menyambut kehadiran calon adiknya.  Seperti pada saat kehamilan Aulia, saat ini saya juga mengenalkan calon adik kepada Rahmi dan Aulia lewat membaca majalah-majalah Ayah Bunda yang saya miliki.  Untuk mengetahui perkembangan janin di dalam perut, maka saya bersama mereka membahas tentang perkembangan bayi di dalam kandungan dari bulan ke bulan.  Mereka sangat ingin tahu dengan gambar-gambar tentang perkembangan bayi dari bulan ke bulan.
Tak jarang mereka bertanya tentang informasi dari majalah tersebut, Rahmi dan Aulia juga sering meminta dibacakan teks yang ada di majalah tersebut.  Banyak hal yang mereka tanyakan terkait dengan bayi dan perkembangannya di dalam kandungan. 
Beberapa pertanyaan yang biasa mereka ajukan, seperti pertanyaan Aulia,”Bun, sekarang (bentuk) adik seperti apa di perut Bunda?” 
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka saya pun akan memperlihatkan gambar janin dalam kandungan pada bulan yang ditanyakan oleh Aulia, misalkan gambar posisi bayi pada bulan ke-3.
Ada pula komentar Rahmi pada saat kandungan saya telah berusia 8 bulan,”O, sekarang adik sudah besar ya, dan kepalanya ada di bawah, kakinya diatas”, sambil melihat gambar bayi di dalam rahim pada usia 8 bulan pada majalah Ayah Bunda yang kami bahas.  Mereka anak yang cerdas, bukan? Saya sungguh bangga melihat kecerdasan dan ketanggapan mereka.
Kadangkala Rahmi dan Aulia membantu mempersiapkan barang-barang untuk keperluan adik mereka.  Namun, seperti biasanya kanak-kanak, mereka tidak lama membantu, bahkan kadang-kadang malah jadi berantakan, he he he.  Tidak apa-apa, mereka melakukan kegiatan, kan, sebatas kemampuan mereka?
Suatu waktu, kami akan membahas foto-foto Rahmi dan Aulia ketika bayi, sehingga mereka bisa membayangkan rupa adik mereka.  Rahmi dan Aulia juga tidak sabar terhadap kelahiran adik bayi mereka, setiap waktu mereka bertanya,”Bun, kapan adik lahir?”
Saya akan menjawab dan menjelaskan dengan melihat majalah Ayah Bunda yang biasa menjadi pegangan kami,”Nah, kita ada disini (gambar posisi bayi dalam kandungan 8 bulan), berarti bulan depan adik in sya Allah lahir”.
Dan ke-2 bocah yang lucu itupun meloncat-loncat kegirangan dengan mata berbinar-binar,”Asyik punya adik!! Asyik punya adik!”
Saya hanya bisa menatap mereka sambil tersenyum-senyum sendiri!  Calon adik sudah diterima oleh kakak-kakaknya, Alhamdulillah
Sama seperti pada kehamilan-kehamilan sebelumnya, pada usia kehamilan ke-8 bulan, saya dan suami (eh, lebih banyak suami, deh!) telah mempersiapkan barang untuk keperluan melahirkan. Barang-barang tersebut berupa barang keperluan saya dan bayi yang diletakkan dalam sebuah  tas yang cukup besar, siap sedia jika tiba-tiba akan dibawa ke rumah sakit.  Biasanya, kan, waktu melahirkan tidak dapat diperkirakan sebelumnya? 

Aulia yang selalu ingin tahu dan kreatif


Anak dengan hobi memotretnya
Sumber: Victoria Borodinova, pexels.com

Aulia selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar, ia suka sekali memotret suatu obyek atau kejadian di sekitarnya, tak peduli hasil foto bagus atau tidak, tak apa-apalah yang penting ia melatih fokusnya!  Hal ini dapat dilihat dari apa yang dilakukannya terhadap sepeda roda tiga berwarna pink miliknya, yang sebelumnya merupakan milik Rahmi. 
Biasanya anak-anak suka mengendarai sepeda roda tiga miliknya, bukan?  Berbeda dengan anak-anak lainnya, Aulia lebih senang membuat posisi sepedanya terbalik, sehingga roda-rodanya berada diatas!  Kemudian, apa yang dilakukan terhadap sepedanya tersebut?  Wow, ia memutar roda-roda pada sepedanya dari perlahan-lahan sampai dengan tempo cepat!  Setelah itu, ia amati gerakan roda-roda sepeda tersebut, ia juga mengamati gerakan rantai yang dimiliki oleh sepeda!
Kemudian ia memegang roda dan rantai sepeda dan mengendalikan gerakan berputarnya, yang berakhir dengan lepasnya rantai sepeda!  Kalau sudah lepas rantai sepedanya, maka ia akan minta om (kakak ayah) untuk memasang kembali rantai sepedanya!  Hal ini pun terjadi berulangkali!  Dengan demikian, ia telah menerapkan pelajaran Fisika tentang gerak dan putaran lewat cara mengamati!  Hal yang cerdas yang dilakukan anak seusianya, bukan?
Pada suatu hari kami sekeluarga rekreasi bersama keluarga teman-teman kantor ayahnya, pada saat itu saya belum hamil anak ketiga.  Ketika menunggu bus yang akan kami tumpangi, Aulia jongkok dan mengamati sesuatu.  Pada awalnya, saya dan ayahnya tidak menyadari apa yang Aulia lakukan.  Tidak ingin mengganggu aktivitas yang dilakukan, saya ikut berjongkok di samping Aulia, sambil mengikuti arah pandangannya.  Ternyata ia mengamati benda-benda yang berada di bawah dan melekat pada bus pariwisata yang berukuran besar itu!
Setelah berjongkok disampingnya, saya bertanya ke Aulia,”Kakak, sedang memperhatikan apa?”
“Kakak sedang memperhatikan bus”, jawab Aulia.
“Kakak senang bus?” tanya saya kembali.
“Iya, Kakak ingin punya pabrik bus,” jawab Aulia kembali sambil memandang bagian bawah bus yang ada di hadapannya.
“Lho, bukannya Kakak mau punya peternakan sapi (Aulia juga pernah bilang ingin punya peternakan sapi)?” tanya saya lagi sambil menahan senyum.
“Iya, Kakak mau punya pabrik bus, juga peternakan sapi!” jawab Aulia dengan antusias, sambil matanya tak lepas dari bus.
Saya dan suami hanya bisa senyum-senyum saja mendengar jawaban Aulia tersebut, Aamiin, semoga terlaksana cita-citamu, Nak!
Satu lagi keinginan Aulia adalah menjadi TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat)!  Agar bisa menjaga negara Republik Indonesia, menurut Aulia.  Duh, Nak, cita-citamu mulia sekali!  Aamiin Yaa Rab, semoga terlaksana ya Allah!

Berbagi waktu dengan Rahmi dan Aulia

Berbeda dengan Rahmi yang tenang dan cenderung diam jika sedang beraktivitas, Aulia lebih senang berlari dan berloncat-loncatan, memanjat, serta cenderung jahil kepada Rahmi.  Tak jarang, saya harus mendengarkan teriakan dan tangisan, ketika mereka memperebutkan mainan, karena kejahilan Aulia!  Saya pun harus memahami karakter masing-masing anak dengan baik, agar dapat melakukan pendekatan yang baik kepada mereka.

Perbedaan antara ‘nakal’ dan ‘kreatif’

Kalau tidak berhati-hati, Aulia akan mendapatkan label ‘nakal’ dari lingkungannya, bahkan dari saya sendiri!  Aulia adalah anak yang kreatif, mudah bosan dengan apa yang sedang dipegangnya, lebih suka beraktivitas lari, loncat, atau pun memanjat.  Karena Aulia merupakan tipe kinestetis, lebih menyukai aktvitas dengan bergerak!  Tubuhnya pun kurus, karena energi dari asupan makanannya telah habis digunakan untuk beraktivitas.  Tidak apa-apa, yang penting sehat ya, Nak!
Sifat Aulia ini mengingatkan saya pada sifat adik saya yang kedua, ia cerdas, energik, tidak pernah kehabisan akal untuk semua hal yang dia lakukan, namun, ia juga jahil terhadap saudara-saudaranya.  Oleh sebab itu, hampir setiap orang dewasa di lingkungan kami melabelinya sebagai ‘anak nakal’, ‘anak yang kurang ajar’, karena ia berani mengungkapkan pendapatnya dihadapan orang dewasa!  Hal ini menjadi dendam untuknya sampai dewasa, kasihan, kan, ‘label’ itu yang merusak pribadinya!
Memang terdapat perbedaan tipis antara ‘anak nakal’ dan ‘anak kreatif penuh inisiatif’, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. 
Seorang anak bisa menjadi ‘anak nakal’ atau ‘anak pengganggu’, ketika kita orang dewasa tidak mau memenuhi keingintahuannya tentang sesuatu hal.  Seperti ketika seorang anak bertanya,”Bun, kenapa burung bisa terbang?”. 
Namun, pada saat itu sang bunda sedang sibuk dan tidak menjawab pertanyaan  sang anak segera atau malas memikirkan jawaban yang paling bijak untuk pertanyaan itu.  Maka mungkin bukan jawaban yang diterima anak, tetapi omelan dari sang bunda yang akan diterimanya,”Ah, kamu mengganggu Bunda saja!  Bunda lagi sibuk!”
Percayalah, anak tidak akan pernah bertanya lagi!  Namun, ia akan mencari jawaban dari orang lain atau sumber lain yang mungkin akan memberikan jawaban yang tidak tepat atau bahkan menyesatkan anak!
Orang tua yang bijak akan segera memberikan jawaban, atau setidaknya mencari informasi terlebih dahulu tentang jawaban pertanyaan anak.  Misalkan, sang bunda akan menjawab,”O burung bisa terbang, karena dikaruniai atau diberikan oleh Allah SWT sayap yang bisa membawanya terbang kemanapun, Nak”.
Anak akan senang, karena pertanyaan yang berputar di kepalanya, dijawab dengan baik oleh bundanya,”O, begitu Bunda, aku mengerti”. 
Atau ia akan melanjutkan perkataannya dengan,”Ah, aku ingin punya sayap agar bisa terbang seperti burung, Bun!”
Nah, untuk hal ini kita sebagai orang tua harus hati-hati menanggapinya, karena banyak kasus anak celaka karena menganggap dia bisa terbang dan loncat dari tempat yang tinggi!
Kita dapat menjawabnya dengan,”Manusia tidak dapat terbang seperti burung, Nak, tetapi bisa terbang dengan menggunakan pesawat paralayang atau pesawat terbang yang dibuat khusus untuk itu”, sambil memberikan gambar pesawat paralayang atau pesawat terbang yang dimaksud.
Dengan jawaban sederhana dan dapat dimengerti anak, kita, orang tua dapat mencegah anak-anak melakukan hal-hal yang membahayakannya.  Hal ini malah akan menuntunnya banyak membaca atau mencari informasi lebih lanjut lagi yang akan mengeksplor kemampuan berfikirnya lebih dalam lagi.
Dengan begitu anak hanya mencari informasi kepada orang tuanya.  Orang tua pun dapat mengontrol, hanya informasi yang tepat diterima oleh anak.  Oleh sebab itu, saya sebagai orang tua suka membaca dan menambah pengetahuan kembali, karena bunda adalah sekolah pertama bagi anak!





Pertama kali Bersekolah, Saatnya Bersosialisasi!



Waktu berlalu, anak-anak pun kian bertumbuh.  Genaplah Rahmi berusia 3 tahun, belajar di rumah, sepertinya sudah cukup memadai pada usianya.  Kami, saya dan suami, fikir sudah saatnya Rahmi mulai bersosialisasi.  Bukan target menjadi anak terpintar yang kami cari, tetapi mengingat Rahmi sangat pemalu dan agak sulit dalam bersosialisasi dengan orang baru.  Maka, kami pun memasukkannya ke sebuah TamanPendidikan Al Qur’an (TPA) Al Furqan dekat rumah.

Belajar menari mengembangkan potensi diri
Sumber: Zun zun, Pexels.com

Saatnya bersekolah di Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA)

Kami ingin Rahmi dapat mengenal dan bergaul dengan teman-teman sebayanya.  Bagi kami, bersosialisasi merupakan hal yang penting bagi anak-anak seusia Rahmi, sehingga pada saat mengikuti pendidikan selanjutnya, ia tidak akan mengalami kesulitan yang berarti.  Di TPA ia juga mempelajari tentang karakter cinta Tuhan, kemandirian, tanggung jawab, kepercayaan diri, serta kerjasama.

Hari pertama di TPA bersama Aulia

Di hari pertamanya bersekolah di TPA Al Furqan, Rahmi bersemangat pergi bersekolah.  Saya mengantarnya ke sekolah sambil menggendong adiknya, Aulia yang baru berusia 2 tahun.  Rahmi semangat ke sekolah, karena diantar oleh bunda dan Aulia.  Sedangkan Aulia semangat mengantar ke sekolah, karena bisa bermain di TPA kakaknya!
Saya tidak merasakan kesulitan pada hari pertama sekolahnya Rahmi, karena anak-anak sudah dibiasakan bangun pagi sejak bayi, setelah kami, orangtuanya mandi dan shalat Subuh.  Hal ini berdasarkan pengalaman saya, ketika kecil dan tidak ingin hal itu terjadi.  Pada saat itu saya melihat adik sepupu yang terbiasa bangun siang, membuat ibunya repot membangunkan. Ia terus menerus menangis, walaupun telah mengenakan seragam sekolah, karena kesal dibangunkan pada pagi hari!  Ketika melihat hal itu, saya berjanji dalam hati, hal itu tidak terjadi pada keluarga saya kelak!
Terbiasa bangun pagi dan shalat Subuh setelahnya, membuat anak-anak tidak kaget ketika harus bepergian pada pagi hari, bahkan ketika harus bersekolah!  Baik Rahmi maupun Aulia sangat bersemangat bangun di pagi hari, walaupun berbeda tujuan, he he he.  Rahmi anak yang mandiri, setelah mandi, shalat Subuh, ia pun saya bantu mengenakkan baju untuk sekolah. 
Sementara saya memandikan dan mempersiapkan Aulia, Rahmi akan menyantap sarapan pagi dan menyuap makanannya sendiri, berupa nasi, lauk, dan sayur, tanpa banyak cakap.  Dan hebatnya, ia menghabiskan makanannya sendiri tanpa diawasi!  Hebat untuk anak usia 3 tahun
Setelah Aulia rapi, saya membantu Rahmi menyiapkan bekal makanannya, berupa roti atau pun snack, berikut air minum di botol yang ia bawa ke TPA.  Rahmi sangat ceria berangkat bersama adiknya!
Sesampai di sekolah, Rahmi kembali pada kebiasaannya, wajahnya tanpa ekspresi, dia hanya memperhatikan teman-temannya bermain dan berlari-larian di TPA.  Rahmi lebih suka duduk dekat guru/ustazahnya.  Ketika belajar mengaji, dia lebih memilih menunggu giliran, sambil duduk dekat ustazahnya, sementara teman-temannya yang lain sibuk mengobrol atau pun berlari-larian.  Namun, begitu dia mengaji dengan lancer, Alhamdulillah…
Pada saat istirahat, Rahmi akan duduk dengan tenang di bangkunya, dan menghabiskan bekal makanan yang dibawa.  Hmm… jadi ingat ketika saya sekolah di Taman Kanak-Kanak, sementara teman-teman yang lain sibuk bermain dan berlari-larian, saya akan sibuk sendiri dengan mainan atau kegiatan yang dipilih.  Jadi, tak heran dengan sikap Rahmi yang seperti itu, saya pun dulu bersikap seperti itu, tidak suka aktivitas berlari-larian, lebih suka beraktivitas sendiri, seperti bermain boneka, main ulek-ulekan sendiri.
Walau bagaimanapun kami orang tuanya tetap berusaha melibatkan teman Rahmi, dengan menanyakan teman-teman di kelasnya, walaupun tidak mendapatkan respon yang cukup.  Rahmi suka bernyanyi, mewarnai, belajar menulis, maupun berhitung.  Saya kerap mengajarkan Rahmi dan Aulia dengan berbagai lagu anak-anak yang layak bagi usianya, selain mengenalkan lagu Bahasa Indonesia, juga mengenalkan lagu Bahasa Inggris.  Mereka pun ikut bernyanyi dengan antusias dan ceria sambil bergaya masing-masing!
Aulia kerapkali mengganggu Rahmi yang asyik dengan buku dan crayonnya, untuk itu saya membelikannya pula buku mewarnai dengan gambar yang sesuai untuk anak laki-laki.  Tetapi, berbeda dengan Rahmi yang dapat lebih lama bertahan dengan pekerjaan yang dilakukan, Aulia lebih senang berlari-larian, kemudian menjatuhkan barang-barang yang ada di sekitarnya.  Hal ini membuat rumah seringkali berantakan.  O, iya, sejak Aulia berusia 3 bulan kami tinggal di rumah mami saya, karena mami selalu khawatir dengan anak-anak, ketika saya dan suami bekerja.
Mami (ibu saya) yang hanya memiliki 4 anak perempuan, agak kaget ketika menjaga Aulia. 
Menurut beliau,”O, begini ya kalau punya anak laki-laki (rumah jadi berantakan)!” Hal ini dikatakan, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, karena hampir setiap barang dijatuhkan dan disebar oleh Aulia!  Sabar ya Mami!  Mainan mobil-mobilan, truk dan tanknya di susun dari satu sisi rumah menyeberang ke sisi rumah lainnya. Berantakan, bukan?

Selalu menyantap makanan sampai habis, tidak bersisa

Ketika saya dan suami bekerja, maka Rahmi diantar oleh neneknya atau tantenya ke sekolah.  Karena Rahmi selalu menyantap makanan bekalnya dengan tertib, maka salah satu ibu yang mengantar puteranya ke TPA tersebut menyatakan kekagumannya.
“Wah, Rahmi pintar ya, selalu menghabiskan bekalnya sampai habis, tidak sambil berlari-lari!” ujarnya.
“Alhamdulillah”, jawab saya, ketika mengantarkan Rahmi ke TPA.
Bukan hanya menghabiskan roti atau snack, Rahmi pun mampu menghabiskan nasi rames pakai rendang yang terkenal pedas, dengan menyuap sendiri pada usia 3 tahun, lho!  Nasi dan lauk pauk yang dimakan, tidak berantakan pula!  Hal ini terjadi, ketika saya mengajak Rahmi ikut bekerja di hari Minggu, ketika itu saya bertugas mengawasi kelas para karyawan Bank Negara Indonesia (BNI) yang sedang kuliah.
Ketika Rahmi sedang menyuap nasi rames pakai rendang, seorang mahasiswi mendekati dan memperhatikan cara menyuap makanannya yang lucu, dan tidak berantakan.  Iya, Rahmi menyuap makanan dengan tangannya sendiri!  Ketika mahasiswi tersebut mendekatinya, ia pun dengan ‘cuek’ melanjutkan aktivitas makannya sampai selesai!  Mahasiswi tersebut geleng-geleng kepala menyaksikan hal tersebut, sambil menahan senyumnya.
Namun, begitu Rahmi tetap sulit diajak berkomunikasi oleh orang baru.  Suatu kali teman kerja saya berusaha mengajak mengobrol Rahmi, setelah sekitar 2,5 jam, barulah ia menanggapi obrolan teman saya tersebut!  Itupun dengan bantuan saya, agar Rahmi menanggapi godaan dan obrolannya!  Wow, banget, bukan?
Namun, begitu, Rahmi tetap senang dan bersemangat diajak ke kantor saya, kalau sedang memungkinkan, lho!  Sambil menunggu saya bekerja, ia akan mewarnai, memnjam komputer (kalau sedang tidak digunakan), atau pun sekedar mendengarkan musik.  Mungkin baginya, ikut bunda ke kantor, merupakan salah satu jenis rekreasi, he he he. 
Setelah dari kantor, saya akan membelikannya kue kesukaannya yang akan dimakan di perjalanan pulang nanti.  Atau juga saya akan membekalinya dengan kue maupun snack kesukaannya yang akan dimakan selama perjalanan pergi dan pulang kantor, serta selama menanti saya bekerja.
Bukan saya saja yang suka mengajak Rahmi, jika bekerja di waktu luang.  Neneknya, mami saya, juga senang mengajak Rahmi jika pergi ke rumah temannya untuk arisan.  Rahmi pun selalu senang ikut berpergian, walaupun tidak banyak bicara.  Sekali-kali akan keluar untaian kalimat, cerita tentang pengalamannya bepergian kepada ayahnya.  Ya, Rahmi suka menceritakan pengalamannya kepada ayahnya.  Ayahnya adalah sosok terganteng, sosok hero di dalam hidupnya, tempat bercerita baginya!