Masa-Masa Penting Pada Saat Awal Pernikahan, Apa yang Harus Dilakukan?



Masa awal pernikahan


Awal pernikahan penuh bunga cinta
Sumber: Amy Craft, Pixabay.com


Masa awal pernikahan adalah masa bahagia, namun begitu banyak hal yang harus dibicarakan dan dibuat kesepakatan yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak terlebih dahulu.  Hal ini agar memperkecil kemungkinan salah paham, walaupun dirasa sepele, tetapi hal sepele tersebut, bisa menimbulkan permasalahan di kemudian hari. 
Hal-hal yang sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu antara pasangan, seperti  pasangan pengantin akan tinggal dimana setelah menikah, pengelolaan keuangan rumah tangga, hal-hal yang disukai dan tidak disukai oleh kedua belah pihak.

1.    Kesepakatan tempat tinggal

Membuat kesepakatan sebelum menikah, adalah hal yang perlu dibiasakan diantara pasangan suami isteri.  Seperti kesepakatan yang kami buat, walaupun sudah mengontrak rumah, kami memutuskan tinggal dahulu di rumah masing-masing orang tua.  Jadi tinggal selama 3 hari di rumah orang tua saya, kemudian 3 hari kemudian tinggal di rumah orang tua suami, baru hari ke-7 tinggal di rumah sendiri.  Hal ini juga merupakan keinginan orang tua kami masing-masing yang enggan langsung ditinggal oleh anaknya masing-masing setelah menikah.
Ada hal yang tidak terlupakan, pada saat malam pertama menginap di rumah mertua, saya menangis hampir semalam suntuk, cengeng, bukan?  Padahal waktu itu sudah berumur 29 tahun, lho!  Mengapa, ya bisa menangis selama semalam suntuk?  Hal ini karena, tiba-tiba terbersit banyak keraguan di dalam hati, apakah saya akan bahagia? Apakah suami saya akan membahagiakan saya? Apakah suami saya dapat menjaga sepotong hati yang saya punya?  Ya, Allah, saya titipkan sepotong hati ini pada-Mu…
Tibalah saatnya kami menempati rumah kontrakan kami yang mungil di bilangan Selatan Jakarta.  Minggu pertama pernikahan diisi dengan mengunjungi kerabat terdekat dari kedua belah pihak, dilanjutkan dengan berlibur ke rumah kakak sepupu di Bandung.  Pada saat-saat tersebut, juga merupakan waktunya menyesuaikan diri antara  saya yang terbiasa bekerja lambat dengan suami yang terbiasa bekerja cepat alias gercep (gerak cepat).  Sempat kaget terkena bentakan, karena suami tidak sabar dengan kelambatan saya mempersiapkan barang yang akan dibawa berlibur ke Bandung.
Namun, hal itu saya lontarkan secara becanda, ketika kami sedang santai becanda dengan keponakan suami yang usianya hanya berjarak 5 tahun dari suami.  Sejak itu, suami tidak pernah berbicara keras atau pun agak keras kepada saya.

2.    Momen penyesuaian diri pada awal pernikahan

Penyesuaian diri diantara pasangan suami isteri adalah hal yang penting di awal pernikahan, karena bergabungnya 2 pribadi yang berbeda dan memiliki background keluarga berbeda pula.  Hal ini memerlukan penyesuaian diri diantara kedua pasangan.  Keikhlasan dan kesabaran untuk menerima kelebihan dan kekurangan pasangan adalah catatan sangat penting yang harus digaris bawahi.  Sudah ikhlas dan sudah sabar, tentu harus diakhiri dengan rasa syukur memiliki pasangan dengan semua kelebihan dan kekurangannya.
Ikhlas, sabar, dan syukurlah yang menjadi kunci pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah.  Pernikahan yang diliputi oleh rasa damai, tenang, dan bahagia, dapat mengatasi semua ujian, atau pun cobaan yang datang menghampiri.
Kami adalah 2 orang berbeda yang disatukan dalam pernikahan dengan nama Allah.  Tentunya banyak hal yang kami perlu sesuaikan dari perbedaan-perbedaan tersebut.
Yang satu biasa bergerak lambat, yang lain bergerak cepat.  Yang satu libur kerja hari Minggu, yang lain libur kerja selain hari Minggu.  Yang satu cerewet, yang lain pendiam.  Yang satu serius, yang lainnya jahil.  Yang satu agak cuek, yang lainnya suka kebersihan dan kerapian.  Yah, begitulah banyak hal yang harus disesuaikan di Antara kami berdua.
Sejak sebelum menikah, saya sudah bekerja dan kuliah jurusan ‘Public Relation’ kembali, walaupun sudah memiliki gelar Sarjana Ekonomi.  Hal ini karena keinginan menambah pengetahuan dan wawasan, sehingga menuntut pergi di pagi hari dan pulang sekitar pukul 10 malam.  Sedangkan suami yang bekerja sebagai chef di sebuah hotel bintang 4 di Selatan Jakarta, hanya dapat menikmati hari libur pada hari kerja, jarang sekali libur di hari Minggu.
Kami masing-masing harus menerima dengan besar hati kelebihan dan kekurangan kami masing-masing.
Saya yang tidak suka masak, mulai belajar masak dengan suami yang ahli masak, tetapi hal ini tidak berlangsung lama.  Hal ini karena tepat sebulan sesudah menikah, saya hamil, dan mengalami ‘morning sickness’ yang cukup lama, hingga usia kehamilan 5 bulan.

3.    Pengelolaan keuangan rumah tangga

Pengelolaan keuangan rumah tangga harus dibicarakan sejak awal oleh ke-2 pasangan suami istri.  Hal ini disebabkan, karena pengelolaan keuangan yang kurang baik, seringkali menyebabkan saling curiga diantara mereka.  Oleh sebab itu, dari pada menyebabkan keluarga menjadi tidak harmonis, maka pengelolaan keuangan harus jelas dan transparan. Transparan, seperti istilah keuangan negara saja, ya?
Dengan pengelolaan keuangan rumah tangga yang jelas dan transparan, mengurangi kemungkinan syak wasangka diantara pasangan suami isteri.
Pengelolaan keuangan rumah tangga, seperti jelasnya aliran uang masuk dan uang keluar, pos-pos pengeluaran yang harus disisihkan.  Semua penerimaan dan pengeluaran perlu di catat, untuk kejelasan bagi kedua pihak terutama di saat awal pernikahan. Pencatatan diperlukan untuk mengendalikan keuangan rumah tangga.
Pos-pos pemasukan keuangan rumah tangga, yaitu segala sesuatu aliran uang yang masuk ke rumah tangga, seperti pendapatan suami, pendapatan istri, bonus, atau pendapatan lain-lain.
Dari total penerimaan, maka akan dapat dibagikan kepada pos-pos pengeluaran, seperti pos pembayaran listrik, air, dan gas, pos dana untuk masing-masing orang tua, pos belanja bulanan, pos transportasi, pos pengeluaran lain-lain, dan pos tabungan.  Sebaiknya penyusunan pos penerimaan dan pengeluaran rumah tangga diketahui oleh masing-masing pasangan.
Kejelasan dan transparansi pengelolaan keuangan membuat suami, maupun istri mengetahui, dan memahami aliran masuk dan keluar keuangan rumah tangga.

4.    Hal-hal yang disukai dan tidak disukai oleh suami maupun isteri

Suami maupun isteri harus mengetahui dan memahami hal-hal yang disukai atau pun tidak disukai oleh masing-masing pasangan.  Hal ini merupakan salah satu kunci kelanggengan pernikahan.  Sebaik-baiknya pernikahan adalah yang dilandasi dengan pelaksanaan, pemahaman, dan pengamalan agama yang baik.
Pada pernikahan yang berlandaskan pemahaman dan pengamalan agama yang baik, maka pasangan suami isteri akan menjaga pelaksanaan ibadahnya masing-masing.  Rumah yang dihiasi dengan pelaksanaan ibadah, seperti shalat, baca Al Qur’an, serta zikir dan do’a akan membuat suasana rumah adem dan nyaman bagi penghuninya.  Selain itu akan menuntun suami atau pun isteri saling jujur, santun, bijak, menghormati, menyayangi, berkomunikasi dengan baik dengan pasangan, maupun dengan keluarga pasangan, menghindarkan dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Saling menghormati dan menyayangi, juga berarti masing-masing suami isteri menjaganya melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh pasangannya, atau hanya menerima kekurangan pasangan masing-masing.
Menghindarkan dari hal-hal yang dilarang oleh agama, seperti menceritakan keburukan suami atau pun isteri yang selayaknya ditutupi kepada orang lain, suka bergunjing dengan tetangga, dan lain-lain.







#Blogjadibuku
#Day3

10 comments:

  1. Saya dan suami dipertemukan melalui proses taaruf. Jadi benar2 melakukan penyesuaian dari awal dalam segala hal. Poin no 2 sangat berlaku banget bagi saya Mbak.

    ReplyDelete
  2. bener banget mbak, masa-masa terberat ya 1 tahun pernikahan. itu butuuuh banget penyesuaian. jadi sebisa mungkin pasangan yang menikah harus saling bekerja sama. tidak ada pasangan yang cocok 100%, yang ada harus dicocok2in.

    makanya ada pepatah bilang, "love is blind, marriage is an eye opener"

    ReplyDelete
  3. Jadi ingat awal awal menikah dulu. Kami belum bisa mandiri. Lama juga numpang di rumah mertua. Sekitar enam tahunan. Selama numpang tentu saja keuangan kami belum mengatur sendiri juga. Masih ada campur tangan orang tua.
    Setelah beberalama kemudian kami baru bisa punya rumah sendiri. Nah disini baru mulai lah kami saling menyesuaikan diri secara besar besaran. Mengatur rumah tangga memang perlu penyesuaaian besar ya mbak. Nice sharing

    ReplyDelete
  4. Itu quotenya jleb sih mbak, "ya Allah kutitipkan hati ini padaMu".

    ReplyDelete
  5. Aku awal nikah masih tinggal sama mertua kadang juga gantian di rumah orangtua. Setelah punya rumah baru deh melakukan penyesuaian. Ya dengan saudara, soal keuangan, dan lainnya.

    ReplyDelete
  6. Sekarang pasangan muda, dipersiapkan dulu apa²nya sebelum menikah. Bagus aja...
    Dulu mah yaa dijalani aja, msh numpang, keuangan diirit...Alhamdulillah, bersyukur punya pasangan yg saling mengasihi smp menjelang 36thn...
    ��

    ReplyDelete
  7. Yuni belum pernah menikah sih. Semoga segera Ya Allah. Dan membaca ini tu jadi berasa pingin segera dan mengikuti hal-hal ini. Apalagi masalah tempat tinggal dan penyesuaian diri. Hehehe

    ReplyDelete
  8. Kalau aku dulu setelah nikah masih LDM an. Aku nge kost di Jakarta, suamiku di Jember. Justru yang berat saat udah bareng, berasa baru kenal, perlu penyesuaian karena kami beda karakter

    ReplyDelete
  9. Aku juga merasakan beratnya penyesuaian di tahun pertama. Soalnya, aku dan suami kenalnya cuma 3 hari.

    ReplyDelete
  10. Awal pernikahan itu memang PR banget. Banyak penyesuaian harus dilakukan. Harus tahan baper. Apalagi saya dan suami dulu tidak pacaran, tapi ta'aruf. Penyesuaiannya setelah nikah pasti banyak kisahnya. Hampir sama dengan apa yg Mbak Eva tulis di atas :)

    ReplyDelete